Jakarta -
Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah terdapat sebuah fenomena sosial yang menarik, yakni terdapat tiga desa di daerah ini yang melarang warganya menikah dengan penduduk dari desa tetangga.
Meskipun tampaknya aneh di era modern ini, aturan ini menyimpan alasan yang berkaitan dengan sejarah, budaya, dan hubungan antar desa. Berikut tiga desa di Tegal yang melarang warganya menikah dengan warga dari desa tetangga 1.
Desa Batuagung Desa Batuagung terletak di Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Di desa ini, terdapat larangan yang menyatakan bahwa warga Desa Batuagung tidak boleh menjalin cinta atau menikah dengan warga Desa Cenggini, yang merupakan desa tetangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konon, jika larangan ini dilanggar, rumah tangga akan berakhir dengan perceraian, atau jika tidak bercerai, akan menghadapi berbagai masalah. Larangan ini berawal dari konflik antara pendiri Desa Batuagung, Mbah Patra Jaya, yang juga dikenal sebagai Mbah Wangsa Manggala, dan penguasa Desa Cenggini, Adipati Cenggini.
Konon, Mbah Patra Jaya adalah pengikut Ki Gede Sebayu, pendiri Tegal, dan ikut hijrah dari Pajang ke Tegal bersama Ki Gede Sebayu. Perseteruan antara Mbah Patra Jaya dan Adipati Cenggini kemudian mencapai adu ilmu kanuragan.
Karena kesaktian kedua tokoh tersebut, tempat adu ilmu itu membentuk balong atau kolam mata air di Desa Cenggini yang dihuni ratusan ikan. Konon, ikan-ikan tersebut merupakan penjaga balong tersebut.
Itulah cerita yang berkembang di masyarakat Desa Batuagung dan Desa Cenggini. Tidak ada yang tahu pasti penyebab pertikaian ini, dan tidak banyak informasi mengenai Adipati Cenggini.
Sementara itu, makam Mbah Patra Jaya terletak di Situs Budaya Watu Ireng Batuagung, di mana terdapat batu besar, Pohon Bulu, dan Pohon Beringin Pencekik.
Seperti halnya Ki Gede Sebayu, Mbah Patra Jaya juga merupakan punggawa Kerajaan Pajang. Selama perjalanan hijrah dari Pajang ke Tegal, ia membawa Jaran Dawuk Ruyung (kuda berpoleng) sebagai tunggangannya.
Untuk menghormatinya, warga Batuagung memilih untuk tidak memelihara kuda berpoleng atau jenis kuda lainnya, demi menjaga kehormatan dan kewibawaan Mbah Patra Jaya. 2.
Dukuh Pengindangan Dukuh Pengindangan adalah salah satu pedukuhan yang terletak di Desa Gunungagung, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Dukuh Pengindangan dan Desa Batuagung dipisahkan oleh satu desa, yaitu Desa Jejeg. Lalu, mengapa Dukuh Pengindangan bisa menjadi bagian dari Desa Gunungagung?
Cerita yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa ketika seorang sesepuh Dukuh Pengindangan sakit, tidak ada sesepuh dari desa-desa tetangga yang datang, malah yang datang adalah sesepuh Desa Gunungagung.
Akhirnya, sesepuh Dukuh Pengindangan memutuskan untuk bergabung dengan Desa Gunungagung. Namun, di Dukuh Pengindangan terdapat larangan pernikahan dengan warga Desa Gunungagung dan Desa Cempaka.
Desa Gunungagung dan Desa Cempaka terletak bersebelahan, keduanya berada di Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. Mitosnya, jika pernikahan tetap terjadi, orang tua dari Desa Gunungagung atau Desa Cempaka akan terus ikut campur dalam rumah tangga anaknya.
Namun, mitos ini kini sudah jarang terdengar lagi. Seperti halnya larangan di Desa Batuagung, larangan ini juga berasal dari cerita lisan yang berkembang di masyarakat terkait dengan konflik antara Kerajaan Agung Luhur dan Kerajaan Pengindangan.
Wilayah Kerajaan Agung Luhur kini mencakup Desa Gunungagung dan Desa Cempaka, sementara Kerajaan Pengindangan meliputi Dukuh Pengindangan dan Raja Wetan.
Istana Kerajaan Agung Luhur terletak di sebuah bukit bernama Gunung Luhur, yang kini berada di wilayah Desa Cempaka, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.
Di sisi lain, Istana Kerajaan Pengindangan terletak di pedukuhan yang sekarang dikenal sebagai Dukuh Pengindangan, Desa Gunungagung, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal. 3. Desa Jejeg Di Desa Jejeg, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, terdapat mitos yang melarang pernikahan dengan warga desa tetangga, yaitu Desa Muncanglarang.
Mitos ini menyatakan bahwa jika larangan tersebut dilanggar, pihak dari Desa Jejeg akan mengalami tekanan batin dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, larangan ini kini sudah jarang terdengar di masyarakat.
Menurut orang-orang tua dulu, larangan ini berkaitan dengan karakteristik orang Desa Muncanglarang. Dalam pandangan orang Desa Jejeg, nama desa Muncanglarang yang berarti di atas dan mahal menggambarkan bahwa orang Muncanglarang cenderung ingin selalu berada di atas, dengan kata lain, ingin selalu dihormati tetapi tidak mau menghormati yang lain. Itulah cerita dari orang-orang tua dulu.
Itulah tiga desa di Tegal yang melarang warganya menikah dengan warga dari desa tetangga.