Jakarta -
Pemerintah dikabarkan tengah berencana mengubah pemberian subsidi KRL menjadi berbasis NIK. Hal ini terungkap dalam dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.
Padahal selama ini dengan subsidi yang diberikan pemerintah, masyarakat bisa memanfaatkan layanan KRL Jabodetabek dengan tarif Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk 10 kilometer berikutnya. Pengenaan tarif ini sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan nomor 35 tahun 2016.
Sedangkan sisa ongkos perjalanan ini akan ditanggung pemerintah sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor 354 Tahun 2020 tentang Tarif Angkutan Orang Dengan Kereta Api Pelayanan Kelas Ekonomi Untuk Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/ PSO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas berapa tarif KRL Jabodetabek yang harus dibayar pengguna layanan kalau tidak ada subsidi dari pemerintah?
Pengamat Transportasi Deddy Herlambang menjelaskan potongan tarif yang diterima pengguna KRL saat ini bukanlah subsidi melainkan PSO (Public Service Obligation). Berbeda dengan subsidi, menurutnya PSO ini diberikan rata untuk semua orang tanpa membeda-bedakan.
Meski aturan terkait pemberian PSO ini sudah ada dalam Keputusan Menteri Perhubungan, namun dalam aturan itu tidak disebutkan berapa besaran subsidi yang diberikan. Melainkan hanya mengatur kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan PSO itu.
"Pertama subsidi dan PSO itu berbeda. PSO, itu adalah sisi tarif yang merupakan kewajiban pemerintah bayarkan kepada masyarakat, itu kewajiban pemerintah. Jadi sisi tarif KRL saat ini adalah PSO, bukan subsidi. Jadi PSO ini sifatnya adalah insentif, bukan subsidi," jelas Deddy kepada detikcom, Jumat (13/9/2024).
"Biaya perjalanan KRL itu kurang lebihnya Rp 25 ribu per 25 kilometer. Nah sekarang ini 25 kilometer pertama itu Rp 3 ribu, jadi pemerintah berkewajiban sisi tarif atau PSO atau yang orang bilang itu subsidi sebesar Rp 22 ribu, cukup besar. Makanya pemerintah sebut ini terlalu besar, tapi itu bukan masalah, itu kewajiban pemerintah," terangnya lagi.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa tarif normal KRL tanpa subsidi Rp 25.000 per 25 kilometer ini bukanlah tarif tetap, melainkan tarif normal. Sebab perhitungan PSO diberikan berdasarkan perhitungan jumlah orang yang menggunakan layanan per kilometer perjalanan.
Padahal untuk moda transportasi umum seperti kereta, sekali pemberangkatan rangkaian membutuhkan biaya operasional yang sama terlepas dari jumlah penumpang yang naik. Artinya semakin sedikit penumpang yang naik KRL untuk satu kali pemberangkatan rangkaian, maka semakin besar juga PSO yang diberikan.
"Rp 25.000 per 25 kilometer kurang lebihnya. Tapi bisa Rp 20.000 atau Rp 30.000 juga bisa tergantung penumpangnya. Kalau penumpangnya sama, biaya subsidinya menyusut. Karena biaya produksi operasi kereta itu kan ditanggung bareng oleh penumpang," terang Deddy.
"Nah kalau penumpangnya sedikit, seperti pas pandemi kemarin itu (tarif normal) bisa sampai Rp 30.000 per penumpang, karena memang yang penggunanya 50%. Jadi biaya operasi yang ditanggung bersama 100% oleh penumpang, kalau menyusut 50% berarti subsidi pemerintah naik dua kali lipat. Karena biaya produksi orang yang naik satu dengan yang naik 100 kan sama, biaya listriknya sama, gaji karyawannya sama, masalah perawatannya sama," jelasnya lagi.
(fdl/fdl)