KETIKA Pemilu 2024 digelar pada 14 Februari silam, R sudah lemah. Badannya kurus. Dia hanya bisa berbaring di tempat tidur di bangunan yang disiapkan khusus untuknya. Bangunan itu berada di bagian belakang rumah, berukuran 2,5 meter x 7 meter.
Meski masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), dia tidak berangkat menuju bilik suara. Sebetulnya ia ingin menyalurkan haknya, tetapi oleh keluarganya tidak diperbolehkan. Keluarga khawatir, karena R telah diketahui mengidap HIV/AIDS oleh tetangga-tetangganya.
"Pada saat coklit untuk Pemilu, belum ada yang tahu, sehingga petugas juga biasa saja. Namun setelah tahu, lingkungan sekitar meminta agar R di rumah saja. Makanya, pada waktu Pemilu 2024 berlangsung, kami minta tidak usah mencoblos. Kami yang takut, malah bisa bikin geger karena ke TPS," ungkap Ratu, keponakan R, kepada Media Indonesia pada Senin (19/8).
Baca juga : Petugas Pemilu Diminta Perhatikan Hak-hak Kelompok Rentan, Termasuk Hak Privasi ODHA
Ratu mengungkapkan tetangga mereka mulai berubah sikap saat pamannya diketahui mengidap HIV/AIDS. Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan masih adanya stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di masyarakat, sehingga mereka kerap diabaikan sebagai pemilih.
"Masih ada anggapan di masyarakat bahwa ada kelompok yang tidak bisa memberikan hak pilihnya dalam proses pemilu. Perspektif seperti ini menimbulkan diskriminasi dalam penyelenggaraan pemilu, misalnya dengan tidak mendata kelompok ini dalam daftar pemilih. Jika tidak terdaftar dalam daftar pemilih maka tidak bisa memberikan hak politiknya dalam pemilu," ungkapnya pada Kamis (22/8).
Padahal, lanjut Khoirunnisa, prinsip inklusivitas adalah salah satu prinsip pemilu yang dicantumkan dalam undang-undang (UU). Karena itu penyelenggara pemilu perlu berpedoman pada prinsip tersebut.
Baca juga : 2 Faktor yang Munculkan Kotak Kosong di Pilkada
"UU Pemilu menyatakan bahwa warga negara yang memiliki hak pilih adalah WNI yang sudah berusia 17 tahun atau lebih pada hari pemilu dan/atau sudah pernah menikah. Artinya semua warga negara yang sudah memiliki hak harus dipenuhi haknya. Tidak boleh memandang bahwa ada kelompok yang dianggap tidak bisa memberikan hak pilihnya. Sehingga penyelenggara pemilu harus memastikan kepada setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih aksesnya harus dibuka seluas-luasnya," jelasnya.
Seorang ODHA, KA, 22 tahun, mengatakan warga ODHA ingin tidak distigma pada saat open status kepada masyarakat. Dengan tidak ada stigma, katanya, hak-hak sebagai ODHA akan benar-benar setara dengan warga lainnya.
"Namun, tidak ada garansi bagi ODHA yang open status tak mendapat stigma, bahkan di kalangan keluarga. Seperti saya, tidak semua orang tahu kalau saya ODHA. Bahkan saya belum memberitahu orang tua kandung. Hanya mereka sempat curiga karena di meja kamar saya banyak sekali obat. Orang tua tidak tahu obat yang saya konsumsi," ungkap KA yang diketahui mengidap HIV sejak setahun silam, pada Selasa (20/8).
Baca juga : Pilkada 2024 Diharapkan Berjalan Kondusif
Ia berandai-andai, jika tidak ada stigma lagi terhadap ODHA dan hidupnya diterima seperti orang kebanyakan, maka hak-hak ODHA akan setara. "Misalnya saja dalam hak politik. Kami akan secara bebas menyalurkan hak pilihnya. Tidak hanya itu, kalau saja tidak ada stigma, maka kami juga bisa mendapatkan hak untuk dipilih, jadi tidak hanya hak memilih. Ini kan luar biasa, ada ODHA yang dipilih menjadi pejabat publik. Tapi rasanya, kalau sekarang baru sebatas mimpi," katanya.
KA juga mengatakan pada saat memilih seseorang menjadi pejabat publik, ia ingin menitipkan amanat, supaya hak-hak ODHA diperjuangkan, di antaranya soal pekerjaan. "Sayangnya sampai sekarang memang tidak ada yang memperjuangkan," ujarnya.
Tidak Disinggung dalam Visi Misi
Baca juga : Mitigasi Pelanggaran Pilkada 2024, Bawaslu Manggarai Paparkan Sembilan Kerawanan
DI, 53, ODHA lainnya juga menutup erat-erat statusnya sebagai ODHA, sehingga masyarakat biasa-biasa saja kepadanya. "Saya juga didaftar sebagai pemilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Saya tidak pernah absen. Mengapa tidak ada diskriminasi, ya karena memang mereka tidak tahu status saya," kata dia.
DI mengaku selama menjadi pemilih dalam perhelatan pilkada, tidak pernah mendengar HIV/AIDS menjadi bahan diskusi atau kampanye. "Saya ke TPS ya mencoblos saja. Bukan karena calon yang saya pilih memperjuangkan hak-hak ODHA. Malah, saya belum pernah mendengar ada calon bupati dan wakil bupati yang membahas soal ODHA," ungkapnya.
Berdasarkan data dari KPU Banyumas, para calon bupati dan wakil bupati yang bertarung di dua Pilkada sebelumnya tidak pernah menyinggung isu HIV/AIDS maupun ODHA. Pada visi dan misi pasangan Achmad Husein dan Budhi Setiawan yang memenangi Pilkada Banyumas 2013, misalnya, pasangan ini hanya menyebut 'Meningkatkan kualitas hidup warga melalui pemenuhan kebutuhan dan layanan dasar pendidikan dan kesehatan'.
Pada Pilkada 2018, Achmad Husein sebagai petahana yang maju bersama Sadewo Tri Lastiono masih tidak menyebutkan secara spesifik HIV/AIDS, apalagi soal hak-hak para ODHA. Dalam visi dan misinya mereka hanya menyebutkan 'Melayani kebutuhan dasar rakyat dengan jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, permukiman yang layak, lapangan pekerjaan, serta perlindungan sosial untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, berdaya saing, dan berkarakter Banyumas'.
Kini, tahun 2024, Sadewo Tri Lastiono akan maju berpasangan dengan Lintarti. Lagi-lagi, belum ada tanda-tanda mereka membahas secara khusus keberadaan ODHA.
Bakal calon bupati dan wakil bupati di Banyumas itu sejauh ini tidak pernah terdengar berbicara soal minoritas. Berdasarkan catatan Media Indonesia, dalam berbagai kesempatan, Sadewo memang mengatakan dirinya sejak menjabat sebagai wakil bupati, melakukan pendampingan kepada kaum marginal bersama dengan kalangan perguruan tinggi.
Salah satunya di Kampung Rahayu, Purwokerto Selatan. Namun, Sadewo tidak secara spesifik menyebut ODHA.
"Kami bersama Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) melaksanakan pendampingan kepada kaum marginal. Karena di Kampung Rahayu, rata-rata penduduknya adalah kaum marginal," katanya.
Jika nanti terpilih, Sadewo yang kini calon tunggal di Pilkada Banyumas 2024, menyatakan akan meneruskan program tersebut. "Untuk anggarannya tidak hanya dari APBD, namun bisa mengambil dari dana CSR perusahaan yang dipakai untuk program pemberdayaan. Tetapi yang pasti, saya pribadi sangat memperhatikan kaum marginal," tandasnya.
Akademisi Bivitri Susanti mengungkapkan, pada umumnya isu kelompok marginal memang hanya di pinggiran saja.
"Calon pemimpin (sebenarnya) tidak peduli terhadap isu kelompok marginal. Yang mereka pikirkan hanyalah kemenangan saja. Justru mereka hanya akan peduli terhadap kelompok-kelompok yang strategis. Karena cara berpikirnya adalah populisme," ujarnya.
Bivitri memandang politik terkait dengan demand dan supply. Perlu strategi agar kelompok marginal diperhatikan. Untuk demand, mesti ada dorongan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil.
"Sedangkan supply, kita mesti mendorong agar parpol memperhatikan kelompok marginal. Bukan hanya soal kantong pemilih besar, tetapi sudah menjadi kewajiban politisi dan pemerintah bahwa seharusnya mereka memberikan layanan publik yang baik. Akademisi atau kelompok sipil harus terus lantang menyuarakan ini," dia menegaskan.
Tak Pernah Ada Sosialisasi
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan Dinas Kesehatan (Dinkes) Banyumas pada 2006-2024 jumlah ODHA sekarang diperkirakan ada 5 ribu kasus.
"Jumlah ODHA di Banyumas cukup banyak. Bahkan, pada awal tahun 2024 menduduki peringkat kedua di ...