Jakarta -
Wacana pemerintah yang akan mengganti subsidi pupuk dengan bantuan langsung tunai (BLT) mendapat penolakan keras dari berbagai pihak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga para petani diketahui meminta secara tegas wacana tersebut dibatalkan.
Mereka menilai mekanisme BLT hanya akan menimbulkan masalah baru dan merugikan petani yang saat ini terus berproduksi.
"Kalau diganti BLT, apakah nantinya akan mengikuti harga pupuk subsidi atau non subsidi. Jadi jangan sampai malah perusahaan pupuknya yang dapat subsidi, bukan petani yang melakukan kegiatan produksi pertanian," kata Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS Johan Rosihan dalam keterangannya, Senin (9/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara tegas saya tidak setuju subsidi pupuk diubah dalam bentuk BLT. Sebab hal ini akan merugikan petani dan menyebabkan harga pupuk semakin mahal," tegasnya.
Menurut Johan, keinginan pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sangat tidak masuk akal. Bahkan, ia menyebut Luhut tidak melihat realitas persoalan subsidi pupuk yang dialami para petani.
Lebih dari itu, Johan mengatakan penggantian pupuk ke BLT tidak sesuai dengan tujuan dari subsidi pupuk itu sendiri, yakni agar harga yang beredar di pasar tidak memberatkan para petani dalam meningkatkan produksi pertanian.
"Dan lagi pula BLT yang diterima itu nantinya akan tidak fokus untuk tujuan pembelian pupuk dan sangat rentan digunakan untuk keperluan lainnya. Saya mengimbau agar pemerintah lebih fokus pada distribusi pupuk bersubsidi yang lebih tepat sasaran. Kemudian juga pemerintah harus lebih tegas terhadap segala permainan dan penyimpangan di lapangan," ujar Johan.
"Ingat, tujuan utama dari subsidi pupuk itu adalah tepat sasaran sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah," tambahnya.
Penolakan pun datang dari para petani Jember yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Asosiasi Kios Pupuk juga sepakat menolak wacana tersebut.
Mereka menilai subsidi dalam bentuk bantuan langsung sangat kontraproduktif dan rentan meleset dari sasaran. Sebab, selain data petani yang hingga kini masih amburadul, di tingkat bawah juga ada klaster petani, seperti petani pemilik sawah, petani penyewa, petani penggarap, dan buruh tani.
"Belum lagi soal peralihan hak kelola sawah, baik melalui jual beli, gadai atau sewa menyewa. Padahal, yang masuk dalam Sistem e-RDKK (Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) adalah pihak pertama. Dan e-RDKK inilah yang selama ini menjadi acuan pemerintah menggelontorkan pupuk subsidi ke petani," kata Sekretaris KTNA Kabupaten Jember Hendro Handoko.
Hendro meminta pemerintah tidak buru-buru mengeluarkan wacana yang dalam praktiknya justru menimbulkan kerancuan semacam itu. Harusnya, saran Hendro, pemerintah memperbaiki data petani dan sistem yang bakal digunakan sebagai acuan penyaluran subsidi, sehingga bisa tepat sasaran.
"Dan menurut saya, distribusi pupuk ini akan lancar jika masalah-masalah teknis itu bisa diperbaiki. Contohnya tentang I-Pubers (aplikasi penyaluran pupuk bersubsidi), kadang-kadang satu hari bahkan bisa dua hari terkendala, sehingga tidak bisa menyalurkan," katanya.
Sebagai informasi, penolakan yang sama juga diutarakan para petani Jatim yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim, Pemuda Tani Indonesia, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tunas Harapan Desa Sumberdanti, Kecamatan Sukowono dan juga para petani dari KTNA maupun petani penggarap lainya.
(akd/akd)