Jakarta - Misi Indonesia mengejar target net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon tahun 2060 menghadapi banyak tantangan. Terlebih, mayoritas pasokan energi saat ini masih bersumber dari fosil.
Transisi menuju energi baru terbarukan juga membutuhkan dana besar dan suntikan modal investor. Masalahnya, menurut Peneliti Indef Abra Talattov, mendatangkan investor untuk mengembangkan energi bersih tidaklah mudah.
Salah satu kendalanya terletak pada demand listrik Indonesia yang masih rendah. Konsumsi listrik domestik yang masih rendah membuat investor maupun kreditur masih ragu menanamkan modalnya.
"Dari pembiayaan, melihat faktor-faktor demand yang lemah, biaya investasi yang masih mahal, dari sisi kreditur, perbankan maupun non perbankan akan sangat hati-hati mendanai investasi EBT. Karena risikonya kan juga besar," katanya kepada detikcom, Jumat (13/9/2024).
Apalagi dengan kebutuhan investasi besar, energi bersih harus mempertimbangkan juga aspek keterjangkauan bagi masyarakat. Abra mengingatkan jangan sampai energi bersih yang nanti dihasilkan justru tidak terjangkau oleh masyarakat.
Dengan serapan yang rendah, Indonesia juga menghadapi isu kelebihan pasokan listrik sekitar 6 gigawatt. Ia menjelaskan salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah ini melalui penciptaan ekosistem kendaraan listrik
"Agenda pemerintah terkait oversupply tadi dengan menggenjot demand listrik di dalam negeri, salah satunya yang didorong adalah pemanfaatan kendaraan berbasis listrik. Makanya pemerintah mendorong insentif pembelian kendaraan listrik, subsidi, itu kan bentuk konkret bagaimana agar penyerapan listrik di dalam negeri jadi maksimal," bebernya.
Tapi, Abra mengingatkan sektor industri manufaktur perlu juga mendapat dukungan karena mampu menyerap listrik dalam jumlah besar. Semakin bertumbuhnya industri akan mendongkrak penggunaan listrik sekaligus mendorong perekonomian Indonesia.
"Untuk bisa mempercepat ekspansi energi terbarukan, kurangi kelebihan pasokan energi, khususnya listrik, dengan meningkatkan aktivitas ekonomi yang menyerap energi cukup signifikan. Itu di sektor manufaktur. Pemerintah memang harus fokus menggenjot investasi dan industrialisasi dalam negeri," ujarnya.
Sementara itu, Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menyoroti perlunya dukungan terhadap skala investasi yang yang lebih serius, khususnya terkait upaya menekan emisi karbon. Pasalnya menilai dalam 20-30 tahun ke depan sumber energi Indonesia masih didominasi oleh energi berbasis batu bara.
Adapun dari segi sumber daya alam (SDA), Yayan membeberkan beragam potensi yang dimiliki Indonesia, mulai dari panas bumi hingga energi surya. Satu yang menjadi catatan adalah dukungan infrastruktur dan teknologi yang harus terus ditingkatkan.
"Mungkin ini saatnya Pak Prabowo saatnya untuk membenahi infrastruktur energi. Jadi yang menjadi prioritas utama, kalo kemarin Pak Jokowi itu infrastruktur transportasi darat misalnya, kalau sekarang Pak Prabowo renewable energi menjadi prioritasnya," tutup dia.
Isu terkait NZE ini juga akan dibahas dalam detikcom Leaders Forum dengan tema Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia. Acara ini dibuka oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani dan akan dilanjutkan dengan diskusi oleh beberapa tokoh.
Bagi detikers yang ingin hadir secara langsung mengikuti acara diskusi tersebut silakan mendaftar di link berikut ini. (ily/das)