Jakarta -
Menjadi awak kabin mungkin adalah cita-cita banyak orang. Dapat dilihat dari selalu tingginya antusiasme pendaftar hingga berasal dari berbagai daerah. Sehingga, perjalanan mencapainya pun juga tak mudah.
Selain harapan memiliki pendapatan yang di atas rata-rata, banyak juga yang berkeinginan mendapatkan pengalaman bekerja sambil liburan atau mengunjungi berbagai destinasi. Ya, hal itu mungkin dicapai jika menjadi pramugari ataupun pramugara.
Namun di balik itu, ada cerita perjuangan tak mudah bagi setiap awak kabin. Kru kabin dituntut memiliki berbagai keahlian, seperti bahasa asing, attitude yang baik, ketangkasan evakuasi, memadamkan api, hingga melayani. Tak hanya itu, tantangan pun juga hadir dari tekanan yang dimiliki dari setiap pribadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chreisna Bayu, Kru kabin Lion Group. (Rifkianto Nugroho/detikcom)
Misalnya yang dituturkan oleh awak kabin yang sedang menjalani pelatihan di Lion Group, yakni Chreisna Bayu. Ia adalah putra daerah Kalimantan Utara, yakni tepatnya berasal dari Tanjung Selor.
Sebagai putra daerah, ia menuturkan perjalanan yang ditempuh untuk menjadi awak kabin dilakukan dengan tidak mudah. Ia bukan berasal dari keluarga yang tersohor, ayahnya adalah buruh bangunan dan ibunya merupakan ibu rumah tangga dan memiliki usaha makanan.
Sebelumnya ia berkarir di bidang kreatif, seperti menjadi MC di beberapa event dan pelatih marching band. Lalu di tengah kebingungan karir, tercetus keinginannya untuk menjadi seorang pramugara.
Namun, banyak kerabatnya yang pesimis dengan keinginannya karena anggapan standarisasi awak kabin yang terlalu tinggi. Selain itu, ada pula keberatan dari keluarga yang turut menambah tekanan di dirinya.
"Saya dan adik-adik saya dari kampung itu kita berpikiran kalau menjadi seorang pramugara atau pramugari itu harus cantik, harus tinggi, harus orang kota, kita mikir dulu kan kayak gitu ya. Setelah itu, harus punya banyak uang karena kita mikir untuk sekolahnya itu mahal sekali gitu kan," imbuhnya kepada detikcom di kawasan perkantoran Lion Group, Kabupaten Tangerang, Senin (9/9/2024).
Chreisna menjelaskan bahwa soal finansial adalah salah satu penghalangnya. Karena berasal dari keluarga sederhana, ia berambisi untuk langsung lolos dalam percobaan pertama. Hal itu mengingat biaya perjalanan dari rumah ke Jakarta cukup tinggi. Ia pun memiliki motivasi tersendiri untuk menjadi pembuka jalan bagi kerabatnya di daerah.
"Jadi saya ke sini itu sebenarnya antara direstui dan tidak direstui gitu. Direstuinya ya selagi baik, selagi saya pengen saya bisa menjalani, nggak direstuinya kayak nanti bagaimana kehidupannya di sini itu biayanya besar loh. Orang tua juga nggak bisa sanggup buat membiayai secara terus-menerus," tuturnya.
Profesi sebagai awak kabin, pramugari dan pramugara, tak hanya terpandang, tapi juga sarat tantangan. Ada jalan panjang yang harus ditempuh. (Rifkianto Nugroho/detikcom)
Dan beruntungnya ia, dapat langsung lolos dalam percobaan pertama. Selain itu, ia pun dibebaskan dari biaya-biaya pendidikan untuk menjadi kru kabin.
"Saya memberanikan diri untuk mencoba menjadi seorang pramugara agar nantinya kedepannya adik-adik saya, teman-teman saya yang ada di kampung, yang ada di perbatasan Kalimantan Utara itu bisa mengikuti jalan saya untuk berkarir di penerbangan. Stigma orang-orang Kalimantan, teman-teman saya yang ada di pedalaman bahwa menjadi seorang Flight attendant seorang pramugara atau pramugari itu harus mengeluarkan biaya besar. Itu salah, sebenarnya cukup punya kemampuan bisa berbahasa Inggris, attitude dan behaviornya itu lebih ditingkatkan lagi menjadi lebih baik, kita bisa kok menjadi seorang pramugari dan pramugara," jelasnya.
Cecilia Natasha Wulan Febryan, Kru kabin Lion Group. (Rifkianto Nugroho/detikcom)
Tak hanya Chreisna, ada pula Cecilia Natasha Wulan Febryan. Cecil, sapanya, adalah teman satu angkatan dari Chreisna. Ia pun juga menuturkan tantangan yang juga cukup sulit pernah dialami.
Ia yang sempat mengambil sekolah penerbangan di kampung halamannya Bali, lebih dulu malang melintang di berbagai pekerjaan karena pandemi. Berbagai pekerjaan telah ia cicipi, misalnya saja menjadi waitress, SPG di toko elektronik, hingga pasasi di bandara.
Lalu, berawal bekerja di pasasi dan kerap melihat pramugari yang rupawan, ia pun berkeinginan untuk mencoba peruntungan. Namun perjalanannya tak bisa dibilang mulus. Terhitung ia mesti mencoba hingga tiga kali.
"Saya kan gampang putus asa masalahnya, jadi saya udah kayak 'kayaknya aku nggak bisa deh'," ujarnya.
Beruntung, Ia berhasil menjaga dan menguatkan mentalnya kembali hingga menjadi pramugari. Namun, perjalanannya belum berhenti, ada beberapa hal yang mesti dikuasai. Cecil pun sempat kaget karena ternyata menjadi pramugari tak semudah yang dilihat.
"Lumayan panjang kan recruitmennya itu, saya lolos terus ternyata. Saya mikir, saya kira Pramugari itu gampang masuknya, kayak kerja biasa pas sekali sekali ngelamar besoknya kerja udah kerja gitu. Ternyata nggak, ada psikotes, English test, kayak banyak kan, terus med test juga gitu," terangnya.
Tentunya, cerita mereka berdua adalah contoh dari sekian banyak cerita perjuangan dari para awak kabin meraih cita-citanya. Nah, apakah para traveler memiliki cita-cita serupa?
(wkn/wkn)