Jakarta -
Pemerintah tengah mengejar target FOLU Net Sink 2030 dalam mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan lahan. Nantinya tingkat serapan karbon sudah lebih tinggi dari tingkat emisi pada tahun 2030. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan campur tangan berbagai pihak, termasuk swasta, sehingga target FOLU Net Sink 2030 bisa tercapai.
Seperti yang dilakukan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL) Barito. Balai ini memiliki persemaian permanen di Banjarbaru, dan memproduksi satu juta bibit pohon berbagai jenis. Produksi bibit pohon itu dimaksudkan untuk mendukung kegiatan Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) di beberapa wilayah yang telah ditetapkan, sekaligus untuk dibagikan kepada masyarakat.
"Satu juta per tahun dan ini bibit ini akan kami salurkan kepada masyarakat secara gratis jadi tentunya bibit ini akan kami persiapkan betul ya di lianggang di Kalimantan Selatan yang berproduksi 10 ribu, 10 juta per tahun," ujar Kepala BPDAS Barito, Suprityanto Sukmo di saluran YouTube, KLHK, dalam acara Festival LIKE 2 beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum dibagikan kepada masyarakat, BPDAS Barito melakukan perencanaan dan rapat terlebih dahulu dengan seluruh desa dan kecamatan di Kalimantan Selatan sehingga dapat mendata bibit apa yang diinginkan oleh masyarakat sekitar.
Dari Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Monica Tanuhandaru selama hampir 1 tahun pihaknya menargetkan menanam 174.000 bambu di area sekitar 3.400 hektare dengan pola kerja dari hulu, tengah dan hilir. Adapun pola hilirisasi adalah untuk mencari nilai tambahan dan memiliki nilai ekonomi kepada masyarakat sekitar. Sementara di hulu melakukan pemetaan dengan menggunakan drone.
"Di tengah kita juga membangun sekolah-sekolah lapang. Sekolah lapang itu berarti memberikan pengetahuan dan kita bukan hanya memberikan pengetahuan tapi menjembatani pengetahuan. Maka kita sebut kampus kita bukan kampus seperti biasa tapi knowledge hub dia adalah tempat bertukarnya pengetahuan dan pengalaman," ujar Monika.
Direktur Operasional PT Kandelia Alam, Andreas Nugroho Adi mengungkapkan pihaknya memiliki visi mewujudkan ekosistem hutan bakau yang lestari dan berfungsi sebagai benteng alami terhadap perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Hal itu dilakukan melalui upaya konservasi, rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat guna mendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Untuk diketahui, PT Kandelia Alam mengelola areal seluas 18.000 hektare di Kubu Raya, Kalimantan Barat, berupa hutan mangrove. Pihaknya juga berhasil menghentikan aktivitas illegal logging di area tersebut.
"Sebelum kami take over ini sekitar tahun 2021 akhir, area ini merupakan 100%, hampir 100% dirambah oleh illegal logging. Luar biasa itu kami harus menghentikan ilegal logging itu memang dibutuhkan effort yang luar biasa tapi bisa kami lalui," ungkapnya.
Sedangkan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada 2019 mengalami kerusakan sampai 700 hektare lahan akibat illegal logging. Wibi Nugraha dari Yayasan Mangrove Merah Putih, Sumatera Utara, mengungkapkan beruntung saat itu Kapolda Sumut bergerak cepat sehingga kerusakan lahan mangrove dapat diminimalisir.
Selain itu ia juga mengungkapkan pentingnya peran masyarakat pesisir dalam menjaga kelestarian hutan mangrove yang dapat menjadi ekosistem ekonomi sosial.
(prf/ega)