Jakarta -
Rencana pemerintah Jepang memberikan insentif 600 ribu yen (Rp 64,8 juta) bagi wanita kota yang mau menikah dengan pria desa dibatalkan setelah muncul pertentangan besar dari rakyatnya. Aturan tersebut awalnya ingin diberlakukan untuk meningkatkan angka pernikahan di Jepang.
Dikutip dari SCMP, data resmi menunjukkan bahwa tahun lalu Jepang mengalami jumlah pernikahan terendah dalam 90 tahun, dengan kurang dari 500.000 pasangan yang menikah. Kementerian Kesehatan Jepang bahkan menyebut kondisi tersebut juga menjadi salah satu faktor angka kelahiran yang 'kritis' selama 8 tahun berturut-turut.
Ahli menyebut Jepang sebagai negara dengan 'keinginan yang rendah'. Ia mencatat kaum muda Jepang semakin enggan untuk mengambil risiko, yang mengakibatkan berkurangnya keinginan untuk menikah, apalagi memiliki anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Laporan Migrasi Penduduk Jepang 2023, jumlah orang yang datang ke Tokyo sekitar 68 ribu lebih banyak daripada yang keluar dari ibukota tersebut, lebih dari separuhnya adalah perempuan.
Kepindahan ke Tokyo didasari alasan pendidikan dan keinginan untuk mendapat peluang kerja lebih luas.
Situasi ini membuat banyak tenaga kerja berkurang hingga rumah kosong di daerah pedesaan. Banyak sekolah dan rumah sakit akhirnya ditutup karena defisit populasi.
Ketika Tokyo menghadapi peningkatan kepadatan penduduk, masyarakat pedesaan mengalami penurunan populasi yang signifikan. Ini ditambah dengan jumlah bayi yang lahir semakin berkurang.
Situasi inilah yang membuat pemerintah berencana menerapkan insentif tersebut. Pihaknya ingin mencapai distribusi populasi dan pembangunan ekonomi yang lebih seimbang di seluruh wilayah, termasuk pedesaan.
Insentif tersebut akan diberikan orang-orang yang memenuhi syarat yaitu perempuan lajang yang tinggal atau bekerja di Tokyo. Pemerintah juga dilaporkan akan menanggung biaya perjalanan bagi perempuan yang menghadiri acara perjodohan di daerah pedesaan.
Hal tersebut lantas mengundang komentar pedas dari masyarakat di sana. Karena berbagai penolakan yang terjadi, pemerintah memutuskan untuk membatalkannya.
"Ini menyedihkan. Gadis-gadis meninggalkan daerah pedesaan yang tertinggal dan datang ke Tokyo dengan putus asa untuk menjalani kehidupan lebih baik. Sekarang pemerintah ingin mereka kembali," ucap salah satu warganet di Jepang.
"Ini adalah penyalahgunaan uang pembayar pajak. Masa depan seorang perempuan tidak dapat diukur dengan istilah moneter," kata yang lain.
(avk/kna)