Jakarta -
Malaysia mengumumkan kasus Mpox pertama di tahun ini pada Selasa (17/9/2024). Pemerintah mendeteksi kasus tersebut pada pria tanpa riwayat perjalanan ke luar negeri dalam beberapa pekan terakhir.
Kabar baiknya, pria ini terinfeksi virus Mpox clade IIb yang dikenal tidak 'ganas' lantaran angka kematian di bawah satu persen.
Kasus tersebut terdeteksi pada Senin (16/9) pada pria yang mulai mengeluhkan gejala demam, sakit tenggorokan, dan batuk sejak 11 September, ruam kemudian muncul pada hari berikutnya, menurut laporan Kementerian Kesehatan Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pasien adalah warga negara Malaysia yang tidak bepergian ke luar negeri dalam 21 hari sebelum timbulnya gejala," demikian informasi tambahan Kemenkes Malaysia, dikutip dari CNA, Selasa (17/9).
"Semua kontak pasien ini sedang diidentifikasi, dan status kesehatan mereka akan dipantau sesuai dengan prosedur operasi standar yang ketat."
Malaysia telah mendeteksi total 10 kasus Mpox sejak Juli tahun lalu, seluruhnya merupakan varian clade II. Sembilan dari kasus tersebut tercatat pada 2023.
Jenis baru virus memicu kekhawatiran global karena tampaknya menyebar dengan mudah melalui kontak dekat dan menyebabkan gejala seperti flu serta lesi berisi nanah.
Bulan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan mpox sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat global, bentuk peringatan tertinggi, untuk kedua kalinya dalam dua tahun, menyusul wabah di Republik Demokratik Kongo yang telah menyebar ke negara-negara tetangga.
Penyakit ini biasanya ringan tetapi dapat mematikan, kelompok paling rentan adalah anak-anak, ibu hamil dan orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti mereka yang mengidap HIV, semuanya berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi.
Meskipun Mpox telah dikenal selama beberapa dekade, jenis baru yang lebih mematikan dan lebih mudah menular yakni clade Ib telah mendorong lonjakan kasus baru-baru ini.
"Clade Ib menyebabkan kematian pada sekitar 3,6 persen kasus, dengan anak-anak lebih berisiko," menurut Organisasi Kesehatan Dunia.
(naf/suc)