Liputan6.com, Jakarta Bayang-bayang tekanan kembali menyelimuti Santiago Bernabeu. Sejak kekalahan 2-5 dari Atletico Madrid pada September lalu, Real Madrid masih berjuang menegakkan kembali mentalitas juara yang dulu menjadi identitas mereka.
Sumber internal klub menyebutkan adanya “pertukaran kata keras” di ruang ganti pasca kekalahan itu, terutama terhadap pemain-pemain muda yang dianggap kurang memiliki disiplin dan etos kerja. Bagi skuad yang tengah beregenerasi, itu menjadi ujian karakter pertama, dan hasilnya gagal total.
Kini, meski Real Madrid sudah memuncaki klasemen La Liga dan tampil sempurna di Liga Champions, banyak pihak di dalam klub menilai tim ini belum benar-benar diuji. Ujian sesungguhnya baru datang, menghadapi Juventus, Barcelona, dan Liverpool dalam dua pekan ke depan.
Di tengah situasi tersebut, Xabi Alonso harus mengendalikan bukan hanya performa tim di lapangan, tapi juga suasana hati di ruang ganti. Sebuah tugas yang terbukti jauh lebih kompleks daripada sekadar merancang taktik.
Real Madrid Kehilangan Pilar Mentalitas dan Kepemimpinan
Selama satu dekade terakhir, Real Madrid membangun dinasti dengan mentalitas besi. Enam trofi Liga Champions antara 2014 hingga 2024 menjadi bukti kekuatan kolektif mereka, bukan hanya karena kualitas pemain, tapi juga kedewasaan dan jiwa kepemimpinan yang merata di ruang ganti.
Namun, transisi generasi kini membawa konsekuensi besar. Toni Kroos, Luka Modric, Nacho, dan Lucas Vazquez, empat figur yang membentuk tulang punggung mental Madrid, sudah tidak lagi di klub. Kroos memilih pensiun, Nacho hijrah ke Arab Saudi, sementara Modric dan Vazquez melanjutkan karier di Italia dan Jerman.
Kini, hanya Dani Carvajal yang tersisa dari generasi emas itu. Pada usia 33 tahun, ia memegang ban kapten sekaligus beban tanggung jawab yang semakin berat. Seorang sumber internal bahkan sempat berkata, “Jika Carvajal dibiarkan sendirian, dia bisa meledak dalam sebulan.”
Ketiadaan sosok-sosok senior itu menciptakan ruang hampa di ruang ganti Madrid. Mereka bukan sekadar pemain berpengalaman, tapi penjaga kultur yang dulu menjaga keseimbangan antara ego, disiplin, dan ambisi juara.
Xabi Alonso dan Upaya Membangun Budaya Baru
Kedatangan Xabi Alonso di musim panas lalu disambut dengan harapan tinggi: bukan hanya memperbaiki hasil di lapangan, tapi juga menata ulang mentalitas tim.
Namun yang ia temukan justru ruang ganti dengan banyak kebiasaan buruk, mulai dari ketidaktepatan waktu hingga rendahnya intensitas latihan.
“Dia mengubah ritme harian Madrid,” ungkap seorang orang dalam klub. “Dari pelatih yang jarang terlibat dalam latihan, kini mereka punya sosok yang seperti pemain di lapangan.”
Alonso menuntut kedisiplinan penuh dan konsistensi, bahkan pada hal-hal kecil seperti sikap dalam sesi latihan. Ia berusaha menanamkan kembali standar tinggi yang dulu menjadi DNA klub.
Namun, seperti banyak pelatih muda lainnya, ia menghadapi dilema klasik, bagaimana menegakkan otoritas di hadapan skuad dengan ego besar dan reputasi global.
Kombinasi pemain muda dan bintang mapan seperti Kylian Mbappe, Federico Valverde, dan Jude Bellingham menjadi tantangan tersendiri. Mbappe dipandang sebagai pemimpin di lapangan, namun bukan figur yang vokal di ruang ganti.
Valverde menunjukkan keteladanan lewat kerja keras, tapi belum cukup untuk menggantikan aura para veteran seperti Kroos atau Modric.
Regenerasi Madrid: Potensi Besar, Tapi Masih Rapuh
Musim panas lalu, Madrid mendatangkan lima pemain baru: Dean Huijsen, Trent Alexander-Arnold, Franco Mastantuono, Alvaro Carreras, dan penyerang muda Gonzalo Garcia. Rata-rata usia mereka di bawah 22 tahun, bukti nyata strategi regenerasi klub.
Namun, pengalaman tidak bisa dibeli dengan cepat. Huijsen, yang sempat tampil menjanjikan, kini dikritik karena beberapa kesalahan fatal. Alexander-Arnold, meski berusia lebih matang, masih terlihat canggung dalam adaptasi. Ia dikenal pendiam, dan butuh waktu untuk menjadi figur berpengaruh di tim.
Sementara itu, Alonso berupaya menumbuhkan pemimpin baru dari dalam. Valverde dan Aurelien Tchouameni menjadi contoh pemain yang bekerja keras tanpa banyak bicara, sementara Bellingham diharapkan bisa mengisi ruang emosional yang ditinggalkan Modric. Tapi semuanya masih dalam proses panjang.
Tanpa sosok-sosok kuat di ruang ganti, ketegangan kecil bisa dengan mudah berkembang menjadi masalah besar. Klub sadar bahwa musim ini bukan hanya tentang hasil, tetapi juga membangun kembali fondasi psikologis tim.
Tekanan Meningkat Menjelang Ujian Berat
Bagi Madrid, periode dua pekan ke depan bisa menentukan arah musim. Mereka akan menghadapi Juventus di Liga Champions, lalu El Clasico melawan Barcelona, dan kemudian Liverpool di Eropa. Setiap kesalahan sekecil apa pun berpotensi menghidupkan kembali keraguan terhadap proyek Alonso.
Salah satu sumber dalam klub menggambarkan situasi ini dengan metafora menarik: “Seperti pemain yang baru saja mendapat kartu kuning di awal laga.” Artinya, Alonso harus berhati-hati, setiap keputusan, setiap hasil, kini akan diperhitungkan secara ganda.
Kekalahan besar dari Atletico beberapa pekan lalu masih membekas. Banyak yang mengingatnya sebagai pengulangan dari kegagalan di Piala Dunia Antarklub, saat Madrid kalah 0-4 dari PSG. Luka lama itu membuat setiap kekalahan baru terasa dua kali lebih berat.