Jakarta -
Pemerintah berencana mengubah model pemberian subsidi KRL menjadi berbasis NIK. Hal ini terungkap dalam dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bahkan menyatakan ada kajian kenaikan tarif KRL Jabodetabek Rp 1.000.
Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menjelaskan rencana perubahan model pemberian subsidi KRL ini sebetulnya sudah ada sejak 2018. Tentunya dengan tujuan agar pemberian subsidi ini bisa tepat sasaran.
Menurutnya rencana perubahan model pemberian subsidi ini menjadi penting untuk dilakukan, mengingat pemerintah sudah banyak menggelontorkan anggaran untuk memangkas ongkos transportasi yang banyak digunakan para pekerja ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentunya harus dipilah-pilah juga (penerima subsidi) mengingat kota Jakarta dan Bodetabek itu sangat tinggi subsidinya. Itu Rp 1,6 triliun, sementara daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) cuma Rp 200 miliar tidak sampai. Padahal mereka itu penghasil tambang, mineral, dan sebagainya lah. Itu subsidi nggak ada, sementara Jakarta penghabis anggaran," kata Djoko kepada detikcom, ditulis Jumat (13/9/2024).
Meski begitu, menurut Djoko sebetulnya rencana perubahan pemberian subsidi KRL menjadi berbasis NIK ini belum cukup mendesak untuk dilaksanakan segera. Alih-alih mengubah model subsidi, ia berpendapat sebaiknya pemerintah fokus dalam membangun sarana dan prasarana penghubung antara stasiun KRL ke daerah-daerah permukiman warga.
Sebab menurutnya, tanpa infrastruktur penghubung antara stasiun dengan kawasan perumahan ini, biaya yang perlu dikeluarkan masyarakat untuk bepergian akan tetap mahal. Khususnya saat pergi dari rumah menuju stasiun KRL atau sebaliknya.
"Yang harus dicermati adalah bagaimana kepala daerah Jabodetabek itu agar benar-benar mereka memberikan layanan transportasi dari kawasan perumahan. Karena pernah ada studi 2014, waktu itu KRL sudah murah ya, ternyata biaya pengeluarannya pengguna KRL tuh masih tinggi, masih di atas 30%," terangnya.
"Artinya transportasi penghubung ini harus dituntaskan yang masalahnya bukan di KRL-nya. Mau digratiskan pun KRL-nya nanti dari rumah dia ke stasiun masih mahal, ya tetap saja tinggi kan (biaya transportasi). Jadi isunya perlu kita geser untuk membangun transportasi umum dari kawasan perumahan, agar bisa terintegrasi," sambung Djoko
Sementara itu, Pengamat Transportasi Deddy Herlambang berpendapat seharusnya pemerintah tidak perlu mengubah sistem pemberian subsidi KRL menjadi berbasis NIK karena sejumlah alasan.
Deddy menjelaskan potongan tarif yang diterima pengguna KRL saat ini bukanlah subsidi melainkan PSO (Public Service Obligation). Berbeda dengan subsidi, menurutnya PSO ini diberikan rata untuk semua orang tanpa membeda-bedakan. Sebab ini merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk dibayarkan untuk meningkatkan pelayanan publik.
"Pertama subsidi dan PSO itu berbeda. PSO, itu adalah sisi tarif yang merupakan kewajiban pemerintah bayarkan kepada masyarakat, itu kewajiban pemerintah. Jadi sisi tarif KRL saat ini adalah PSO, bukan subsidi. Jadi PSO ini sifatnya adalah insentif, bukan subsidi," jelas Deddy.
"Biaya perjalanan KRL itu kurang lebihnya Rp 25 ribu per 25 kilometer. Nah sekarang ini 25 kilometer pertama itu Rp 3 ribu, jadi pemerintah berkewajiban sisi tarif atau PSO atau yang orang bilang itu subsidi sebesar Rp 22 ribu, cukup besar. Makanya pemerintah sebut ini terlalu besar, tapi itu bukan masalah, itu kewajiban pemerintah," terangnya lagi.
Oleh karena itu menurutnya semua pengguna KRL harus mendapatkan besaran 'subsidi' yang sama dari pemerintah. Terlebih mengingat pelayanan KRL saat ini hanya ada satu kelas yakni ekonomi. Beda halnya jika KRL ini memiliki beberapa kelas seperti kereta jarak jauh ataupun layanan KRL ekspres sebelum dihapuskan pada 2011 lalu.
"Diksi, yang namanya diksi saja angkutan umum, public transport, transportasi umum, seharusnya tarifnya juga umum semuanya sama tidak ada pembedaan tarif. Karena kereta KRL kita ini satu kelas, satu kelas ekonomi," ucap Deddy.
"Berbeda dengan zaman dulu. Zaman dulu ada kereta KRL ekspres yaitu Pakuan ekspres, Bojong ekspres, Serpong ekspres, Menteng ekspres, dulu juga ada kereta ekonomi non-ac, ada yang AC, itu semua tarifnya beda, nggak masalah karena pelayanannya beda. Kita sekarang ini satu kelas pelayanan, jadi pelayanan KRL satu kelas sama. Seharusnya tarifnya juga sama tidak ada pembedaan," tegasnya lagi.
(fdl/fdl)