
GURU Besar Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Prof Syafruddin Karimi menyebutkan bahwa pergantian Menteri Keuangan (Menkeu) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa membuka babak baru dalam kebijakan fiskal Indonesia.
"Presiden Prabowo Subianto memilih Purbaya, ekonom lulusan Purdue University, untuk menggantikan Sri Mulyani yang selama ini dikenal sebagai simbol disiplin fiskal dan kredibilitas di mata pasar global. Sehari setelah dilantik, Purbaya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% bukanlah hal mustahil," ucap Syafruddin, Senin (8/9).
Purbaya, sambung dia, hadir dengan gaya berbeda. Dengan latar belakang sebagai insinyur elektro ITB dan ekonom Purdue membentuk pendekatan yang lebih kuantitatif, analitis, dan cenderung berani mengambil risiko.
"Pengalaman panjangnya di sektor swasta dan lembaga pemerintah memberinya perspektif pragmatis untuk menghubungkan model ekonomi dengan praktik kebijakan. Ketika ia menyatakan pertumbuhan delapan persen bukan mustahil, ia ingin menunjukkan bahwa dengan keberanian ekspansi, sinergi pemerintah dan swasta, serta desain kebijakan yang tepat, Indonesia bisa melampaui keterbatasan historisnya. Pernyataan ini jelas kontras dengan gaya Sri Mulyani yang cenderung realistis dan konservatif dalam menetapkan target," cetusnya.
Sementara itu, ia menilai bahwa pasar internasional yang sebelumnya percaya pada “jangkar stabilitas” Sri Mulyani kini harus menilai ulang konsistensi Indonesia.
"Jika Purbaya terlalu fokus pada ambisi angka tanpa memperhatikan kredibilitas fiskal, risiko pelemahan rupiah, naiknya yield obligasi, dan keluarnya arus modal akan semakin nyata. Sebaliknya, bila ia mampu meyakinkan pasar bahwa target pertumbuhan tinggi dibarengi dengan reformasi struktural, efisiensi belanja, serta iklim investasi yang kondusif, ia bisa mengubah skeptisisme menjadi optimisme baru," tegasnya.
Namun, demikian, Syafruddin menekankan bahwa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% bukanlah perkara mudah. Pasalnya, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih rendah dan jebakan pendapatan menengah tetap menghantui. Di sisi lain, infrastruktur logistik masih menjadi hambatan daya saing ekspor, basis pajak yang sempit membatasi ruang fiskal, sementara ketidakpastian global akibat perang dagang dan kebijakan tarif Amerika Serikat menekan prospek perdagangan.
"Meski demikian, optimisme Purbaya tidak bisa dianggap sia-sia. Pernyataannya memberi sinyal bahwa Indonesia tidak ingin puas dengan pertumbuhan 5% yang stagnan selama dua dekade. Keberanian menawarkan visi ambisius bisa menjadi dorongan psikologis bagi sektor swasta, birokrasi, dan masyarakat luas. Pertanyaannya bukan hanya apakah delapan persen dapat tercapai, melainkan apakah Purbaya mampu menyatukan optimisme dengan disiplin fiskal yang diwariskan Sri Mulyani. Jika ia berhasil, Indonesia bisa membuka babak baru pembangunan berkelanjutan. Jika gagal, ambisi tinggi justru berisiko memicu instabilitas ekonomi," pungkasnya. (H-3)