Jakarta - Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar yakni mencapai 3.686 gigawatt (GW). Namun, pengembangan energi terbarukan ini menghadapi sejumlah tantangan.
Tantangan pertama, yakni kurangnya akses terhadap modal dan terbatasnya opsi pembiayaan. Kedua, kurangnya insentif finansial. Ketiga, ketidakpastian kebijakan. Keempat, kurangnya peta jalan investasi berkelanjutan. Kelima, risiko dan probabilitas proyek.
Project Lead CASE for Southeast Asia - GIZ Energy Programme Indonesia/ASEAN Deni Gumilang mengatakan, lembaga keuangan masih perlu diyakinkan untuk berinvestasi bagi proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia karena dianggap sebagai investasi dengan risiko tinggi dengan jangka pengembalian yang cukup lama.
"Untuk membuka peluang-peluang investasi pada proyek energi terbarukan, Indonesia perlu menerapkan instrumen-instrumen de-risking terutama pada pengurangan risiko kebijakan yang sejalan dengan pengurangan risiko keuangan dalam meningkatkan peran pihak swasta," kata Deni dalam keterangan tertulis, Jumat (13/9/2024).
Berdasarkan laporan De-Risking Facilities for The Development of Indonesia's Renewable Power Sector (CASE, 2022), terdapat sembilan instrumen yang dapat dilakukan untuk menurunkan resiko dari investasi pada proyek-proyek energi terbarukan. Sembilan instrumen itu yakni jaminan proyek dan finansial, pinjaman berbasis kinerja, sekuritisasi aset, obligasi hijau, modal awal, hibah yang bisa dikonversi, agregasi aset, pembiayaan mezzanine, dan kredit lunak.
Kepala KADIN Energy Transition Task Force (KADIN ETTF) Antony Utomo menuturkan, peluang investasi untuk pengembangan energi terbarukan sangat besar, namun tantangan-tantangan dari sisi regulasi, harga, persaingan dengan energi fosil yang disubsidi masih menghambat peluang tersebut.
"Untuk mengatasi tantangan tersebut, kami memiliki tiga inisiatif bagi pemilik usaha dalam mendukung sektor swasta untuk bertransisi energi: pengembangan industri hijau, peningkatan kapasitas manufaktur energi terbarukan dan mengembangkan sistem distribusi energi yang dapat diimplementasikan di daerah yang memiliki keterbatasan akses listrik," jelas Antony.
Manajer Proyek CASE for Southeast Asia, Institute for Essential Services Reform (IESR) Agus Tampubolon menjelaskan beberapa teknologi energi terbarukan masih menjadi suatu hal yang baru bagi Indonesia. Pengembangan kapasitas bagi pekerja sangat diperlukan untuk beradaptasi dengan teknologi baru yang akan digunakan pada sektor energi, bahkan industri.
"Teknologi energi terbarukan akan terus berkembang untuk mendukung transisi energi di Indonesia. Dukungan finansial dan regulasi sangat penting agar teknologi energi terbarukan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Selain itu, ke depannya, peningkatan kapasitas sumber daya manusia juga perlu diperhatikan untuk memastikan masyarakat bisa masuk pada sektor kerja hijau yang akan terbuka dari transisi energi," kata Agus.
(kil/kil)