Jakarta -
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan ada kajian kenaikan tarif KRL Jabodetabek sebesar Rp 1.000. Meski begitu perihal ini masih dalam proses kajian sehingga belum ada keputusan untuk penerapannya.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (DJKA Kemenhub), Risal Wasal, mengatakan, sejauh ini terdapat dua komponen dalam pengenaan tarif KRL Jabodetabek yakni tarif dasar untuk 25 kilometer (km) pertama dan tarif lanjutan progresif setiap 10 km. Risal tak menjelaskan komponen tarif mana yang mau dinaikkan.
"Ada, kajian itu ada sebenarnya. Kan waktu itu kita mau menaikkan sebanyak Rp 1.000 perak per itunya. Rp 1.000-2.000 itu posisinya, tapi itu belum, untuk penerapannya belum. Kajian itu ada, hanya cuma naik Rp 1.000," sebut Risal ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu Rizal mengaku saat ini Kementerian masih menunggu kebijakan dari pemerintahan baru. Dia menunggu arahan dari pemerintah berikutnya yang dipimpin Prabowo Subianto mulai Oktober.
Terkait rencana ini, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno pada dasarnya setuju dengan adanya kenaikan tarif KRL. Namun menurutnya waktu pembahasan rencana ini tidaklah tepat.
Sebab menurutnya saat ini layanan KRL Jabodetabek masih belum maksimal. Mengingat banyak kereta atau rangkaian yang harus diremajakan sehingga jumlah kereta per rangkaian tidak maksimal.
Padahal pengurangan jumlah kereta per rangkaian ini dapat mengurangi penumpang yang bisa diangkut dan menimbulkan ketidaknyamanan karena masyarakat harus saling berdesak-desakan.
"Memang isu ini berkembang di saat yang tidak tepat, karena kondisi KRL saat ini tuh tidak sesuai dengan SPM (Standar Pelayanan Minimal). Katakanlah kalau pagi harusnya itu 12 kereta satu rangkaian, ternyata delapan atau sepuluh ya," kata Djoko kepada detikcom, Jumat (13/9/2024).
Menurutnya, alangkah baiknya jika rencana ini dibahas setelah rangkaian baru dari China dan INKA tiba dan beroperasi. Dengan begitu PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter dapat memenuhi SPM yang ada dan mengurangi ketidaknyamanan pengguna layanan.
"Makanya nanti saja setelah kondisi kereta normal seperti biasanya, jadi menunggu kereta yang ada dulu hadir. Sampai akhir tahun baru didiskusikan (rencana kenaikan KRL)," ucapnya.
"Kalau sekarang diskusi ya mereka sensitif. Bingung dia, secara kelompok dia mau pindah ke kendaraan pribadi nggak ada duit, ini kok naik (tarif KRL) sementara saya panas-panasan (karena saling berdesakan)", tambah Djoko.
Senada dengan Djoko, Pengamat Transportasi Deddy Herlambang juga setuju dengan rencana kenaikan tarif KRL ini. Sebab menurutnya sudah 8 tahun sejak pemerintah menaikkan besaran tarif itu.
Padahal setiap tahun ada kenaikan gaji karyawan dan biaya operasional lainnya. Tentu jika tidak ada penyesuaian tarif akan sangat berat beban perusahaan atau pemerintah yang memberikan subsidi berupa PSO.
"Tarif itu kan sejak 2016 kita memang nggak pernah naik. Sejak 2016, sekarang 2024, berartikan sudah 8 tahun belum pernah naik. Kalau melihat kondisi nasional, naik ya nggak masalah, Karena setahun gaji pegawai itu naik, apalagi inflasi," ucapnya.
"Nah gaji KCI dan KAI saja itu setiap tahun kan naik, tapi tarif nggak pernah naik. Nah itu kan perlu adjustment, itu masuk akal. Cuma besaran kenaikan tarifnya itu berapa? Nah ini yang perlu dirembuk, harus dipertimbangkan, perlu dikaji, naiknya berapa sih yang masuk akal, yang realistis dengan kondisi saat ini," terang Deddy lagi.
Namun, ia juga berpendapat sebaiknya kenaikan tarif ini dilakukan setelah adanya peningkatan layanan. Semisal penambahan rangkaian kereta hingga pembenahan stasiun-stasiun yang ada. Dengan begitu kenaikan tarif ini setimpal dengan layanan yang diberikan.
"Kalau sekarang ya jangan dinaikkan dulu, karena masih banyak stasiun yang belum jadi. Manggarai belum jadi, Tanah Abang juga masih overload. Lagi pula jumlah sarana masih terbatas, pelayanannya juga belum maksimal. Jadi jangan dinaikkan dulu," kata Deddy.
"Nanti saja kalau semisal sarana KRL yang baru-baru itu datang, dari INKA, dari China itu sudah datang. Nah itu boleh kalau ada penyesuaian tarif," pungkasnya.
(fdl/fdl)