Cilacap -
Kilang menjadi salah satu kunci Indonesia bisa mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM). Dengan semakin besar kapasitas kilang di Indonesia, kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri bisa terus dijaga, sehingga impor pun bisa ditekan.
Namun tantangan perubahan iklim saat ini membuat produksi minyak tak cukup sekadar produksi saja. Inovasi dan adaptasi menjadi formula yang harus dijalankan demi kemandirian dan ketahanan energi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertamina sebagai BUMN migas terbesar Indonesia mengambil inisiatif memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Inisiatif serius tersebut ditunjukkan lewat pembangunan kilang hijau atau green refinery di kilang terbesar yang dimilikinya saat ini, Kilang Pertamina Cilacap atau Refinery Unit IV Cilacap.
"Green Refinery ini adalah kilang hijau terbesar yang dimiliki Pertamina saat ini dengan kapasitas 3.000 bph untuk total minyak nabati." kata Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia kepada detikcom, belum lama ini di Cilacap.
Kilang Cilacap merupakan salah satu unit pengolahan minyak terbesar dan produsen avtur tertinggi di Indonesia saat ini. Hal ini membuat kilang tersebut memiliki fungsi yang sangat strategis bagi kemandirian dan ketahanan energi di Indonesia.
Dengan kapasitas produksi sebesar 348 ribu barel per hari, kilang ini memasok 60% kebutuhan BBM di Pulau Jawa atau 34% di Indonesia. Kilang ini juga memiliki keunikan tersendiri karena juga memproduksi produk non BBM seperti aspal hinggalube base oilsebagai bahan baku pelumas.
"Dengan konfigurasi unit yang saat ini terbaik, kilang ini sangat komplit." kata Didik.
Berdasarkan data KPI, sebaran persentase hasil produksi Kilang Cilacap di antaranya BBM 41%, BBK (bahan bakar khusus atau BBM non subsidi) 19,8%, avtur 13,7%, black product 13%, LPG & petrochemical 9,4%, lube base oil 2,5%, dan lainnya 0,8%.
Tak berhenti di situ, sejak 2019 Kilang Cilacap juga bertranformasi dengan mendirikan Kilang Langit Biru Cilacap (KLBC). Didik bilang, kehadiran KLBC menjadi bukti keseriusan Pertamina memproduksi bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
"Semua produk yang ada di Cilacap semua gasoline minimum RON nya 92." kata Didik.
Kini Pertamina tengah memasuki tahap I pengembangan kilang hijaunya. Pada tahap ini, Pertamina telah berhasil mengembangkan dua produk energi hijau, yakni Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dan sustainable aviation fuel (SAF).
Untuk HVO, Pertamina telah mengemasnya dalam produk Pertamina Renewable Diesel D100 atau yang lebih sering disebut sebagai Pertamina RD. Pertamina RD merupakan bahan bakar nabati ramah lingkungan yang telah meraih sertifikat International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
"Keuntungannya, dia lebih ramah lingkungan. Emisinya turun sekali dan seterusnya. Kualitasnya tidak kalah dengan kualitas internasional." kata Didik.
Dengan sertifikasi ISCC ini, HVO Pertamina diakui atas kontribusinya dalam menurunkan emisi karbon hingga 65-70% dibandingkan dengan bahan bakar konvensional, sehingga dengan layak dapat disebut sebagai produk ramah lingkungan.
Pertamina RD sebelumnya telah diperkenalkan dan digunakan untuk mendukung pelaksanaan Jakarta E-Prix 2021. Dengan kapasitas produksi mencapai 3.000 barel per hari, Green Refinery Cilacap menggunakan bahan baku nabati seperti Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) atau minyak kelapa sawit 100% untuk menghasilkan produk ini.
KPI juga berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), atau minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari. SAF telah berhasil digunakan dalam penerbangan komersil perdana Garuda Indonesia pada pesawat Boeing 737-800 NG.
Hasil dari serangkaian pengujian yang telah dilaksanakan, menunjukkan bahwa performa SAF J2.4 memiliki kualitas yang sama dengan avtur konvensional, namun lebih ramah lingkungan.
"Apa yang dihasilkan KPI dalam memproduksi bahan bakar ramah lingkungan saat ini masih dalam fase pertama. Yang kedua, kita dalam proses masuk ke fase kedua, yaitu mengolah minyak jelantah menjadi produk SAF. Yang pasti Pertamina terus berkomitmen menghasilkan produk yang ramah lingkungan." jelas Didik.
(eds/rrd)