
MENGAMATI dinamika sosial serta pelaksanaan penyelenggara negara akhir-akhir ini, Aliansi Ekonom Indonesia, memandang semakin jauhnya rentang kehidupan bernegara dari visi negara yang ditetapkan oleh para founding fathers, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Sebagai individu-individu yang secara profesi berkiprah dalam memahami kehidupan bermasyarakat dengan analisis berdasar teori, logika, dan data, kami melihat penurunan kualitas hidup terjadi di berbagai lapisan masyarakat secara masif dan sistemik. Walau tentu kami akui ada tekanan dari guncangan global, namun kondisi yang kita hadapi di Indonesia ini tidak terjadi tiba-tiba," kata Perwakilan Aliansi Ekonom Indonesia, Elan Satriawan, Selasa (9/9).
Elan menambahkan, kondisi yang dihadapi Indonesia saat ini telah melewati proses akumulasi dari kehidupan berkenegara yang kurang amanah dan pengambilan kebijakan yang tidak dilakukan secara proper sehingga menyebabkan berbagai masalah ketidakadilan sosial.
"Pertama, pertumbuhan ekonomi yang menurun kualitasnya dan jauh dari inklusif sehingga manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat kebanyakan," sebutnya.
Sebagai ilustrasi, dirinya menjelaskan bahwa periode 2010-2020, yaitu periode pre-covid, perekonomian tumbuh sebesar 5,4% dan mampu mengungkit upah riil yang tumbuh 5,1%.
"Namun pada periode 2022 dan 2024, yaitu setelah kita pulih dari covid-19, perekonomian kita walau tumbuh 5%, namun hanya bisa mengungkit upah real sebesar 1,2%," terangnya.
Kedua, lanjut Elan, dirinya juga melihat adanya masalah serius pada ketimpangan dalam berbagai dimensi baik antarkelompok pendapatan, antar wilayah, antar latar belakang sosial dan demografi yang ditandai dengan mandeknya peningkatan kesejahteraan kelompok bawah rentan dan juga menengah, sementara kelompok atas tumbuh lebih pesat.
"Betapa ketimpangan antara provinsi di Indonesia bagian timur, khususnya Maluku dan Papua, pada masalah kemiskinan, namun juga pada masalah sosial ekonomi lainnya sangat-sangat tinggi," tuturnya.
Ketiga, Elan menegaskan bahwa kehidupan ekonomi Indonesia mengalami pemburukan, mengalami penurunan kualitas.
"Kurva pertumbuhan konsumsi pada periode 2012-2018, kita melihat bahwa pertumbuhan kelompok rentan sampai menengah itu cukup tinggi, dan pertumbuhan kelompok ini kemudian drop pada periode 2018-2024, yang ujungnya kemudian memperburuk situasi ketimpangan di Indonesia," bebernya.
Dirinya juga menyoroti terkait ketersediaan lapangan kerja yang berkualitas bagi masyarakat kebanyakan, terutama untuk kalangan muda yang sangat-sangat menyusut. Pasalnya, dari sekitar 14 juta lapangan pekerjaan baru yang tercipta pada periode 2018-2024, 80%-nya berada di sektor berbasis rumah tangga, yang mayoritas adalah sektor informal, dengan upah di bawah rata-rata nasional, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian keberlanjutan status pekerjaan.
"Bahkan di sektor formal, yaitu publik dan kemudian juga private, bahkan masih ada 25% pekerja di sektor publik, di sektor pemerintah, dan 31% pekerja swasta yang bahkan belum memiliki asuransi kesehatan dan juga jaminan sosial yang lain," ungkap Elan.
Di kesempatan yang sama, Perwakilan lain dari Aliansi Ekonom Indonesia, Vivi Alatas menyatakan bahwa pengangguran usia 15-24 tahun selama periode 2016-2024 selalu berada di atas 15% atau 3 kali lipat dibandingkan usia 25-34 tahun.
"Lebih dari 25% anak bangsa, anak muda Indonesia tidak produktif. Tidak sedang bekerja, tidak sedang sekolah, tidak sedang mengambil perlatihan, tidak sedang mempersiapkan kerja, khususnya perempuan," beber Vivi.
Ia menilai, proses pengambilan kebijakan yang tidak berdasarkan bukti dan minim teknokrasi, menyebabkan misalokasi sumber daya, termasuk lemahnya tata kelola kelembagaan, serta kurangnya empati dan keterbukaan atas masukan dan kritik, sehingga berbagai kebijakan dan program tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Hal itu ditandai dengan anggaran untuk Polri maupun Kementerian Pertahanan, termasuk TNI, tumbuh hampir enam kali lipat dari 2009 hingga 2026, sedangkan anggaran untuk Perlindungan Sosial hanya tumbuh dua kali lipat. (E-4)