Semarang (ANTARA) - Indonesia memiliki Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sebuah tonggak reformasi yang lahir dari semangat pembebasan. Regulasi ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan simbol komitmen bangsa terhadap kebebasan berekspresi dan transparansi publik.
Regulasi itu juga menjadi penegas bahwa pers berperan sebagai pilar keempat demokrasi.
Lebih dari dua dekade setelah undang-undang tersebut dilahirkan, tantangan terhadap kebebasan pers masih saja ada. Namun, di balik tantangan itu, tumbuh pula harapan, solidaritas, dan dorongan untuk memperkuat demokrasi.
Jurnalis adalah sosok yang tetap bertahan di garis depan, menjalankan tugasnya untuk menggali kebenaran, menyampaikan fakta, dan menjadi penghubung antara rakyat dan pengambil kebijakan di tengah dinamika sosial dan politik yang terjadi.
Semangat untuk menyampaikan informasi kepada publik tidak pernah padam dalam dada komitmen wartawan, meski seringkali mereka dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan.
Dalam aksi massa yang terjadi belakangan ini misalnya, terjadi beberapa insiden kekerasan terhadap jurnalis. Pewarta foto ANTARA Bayu Pratama Syahputra mengalami kekerasan ketika meliput demonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senayan, Jakarta, pada Senin (25/8), meski ia sudah mengenakan atribut peliputan lengkap seperti helm bertuliskan Pers ANTARA dan membawa dua kamera profesional.
Kemudian dua jurnalis foto dari Tempo dan ANTARA dipukul orang tidak dikenal saat meliput demonstrasi di sekitar Mako Brimob, Kwitang, Jakarta Pusat, pada Kamis (28/8) malam.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama 1 Januari hingga 31 Agustus 2025 ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, termasuk teror, intimidasi dan serangan digital ke website dan akun media sosial media.
Pada Maret, jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana menerima teror berupa kepala babi busuk dan bangkai tikus terpenggal yang dikirim ke rumah dan kantor redaksinya.
Namun alih-alih memadamkan api semangat, insiden-insiden ini justru memicu solidaritas lintas redaksi dan mendorong publik untuk lebih peduli terhadap perlindungan jurnalis. Di balik angka-angka itu, ada gerakan yang terus menguat: pelatihan keselamatan liputan, advokasi hukum, dan kampanye publik untuk menghormati kerja jurnalistik. Semakin banyak masyarakat yang menyadari bahwa jurnalis bukan ancaman, melainkan penjaga akal sehat bangsa.
Baca juga: Pengamat nilai larangan jurnalisme investigasi ancam kebebasan pers
Ruang bicara
Kritik terhadap pejabat atau proyek publik seharusnya dipandang sebagai bagian dari kontrol demokratis, bukan kejahatan.
Dalam sistem yang sehat, suara jurnalis adalah suara rakyat. Tanpa jurnalis yang bebas, rakyat kehilangan akses terhadap informasi kritis. Skandal korupsi bisa tertutup, pelanggaran HAM bisa terhapus dari ingatan kolektif, dan kebijakan publik bisa melenggang tanpa kontrol.
Tantangan yang masih kita hadapi adalah UU Pers, meski sudah menjamin kemerdekaan, dalam praktik di lapangan sering bertabrakan dengan pasal-pasal dalam KUHP dan UU ITE.
Baca juga: Perlu modifikasi hukum pers demi menjawab tantangan digitalisasi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.